TEROR ZIONIS
Membahas
pandangan Zionis bahwa kembalinya orang Yahudi ke Palestina merupakan sebuah
“tujuan suci” dan bahwa perang yang dilancarkan untuk mencapai tujuan ini
adalah sebuah “perang suci.” Gagasan ini memainkan peran penting dalam
pendidikan orang-orang Israel. Menurut fakta yang ada, pemimpin-pemimpin utama
Israel ada kalanya memberikan pandangan mereka bahwa anak-anak harus disuruh
menjalani suatu pendidikan “Zionis.” Misalnya, Menteri Pendidikan Israel Limor
Livnat memberikan pernyataannya tentang salah satu dari hari-hari terkeras
selama Intifadah al-Aqsa bahwa “mengingat keadaan ini, anak-anak bangsa diminta
untuk menerima pendidikan Zionis-Yahudi” dan bahwa “Sekolah-sekolah adalah
bagian dari keamanan internal negara Israel." Perjanjian Lama mempunyai
satu tempat khusus dalam sistem pendidikan ini, yang dirancang para Zionis
untuk berpusat pada ayat-ayat tertentu. Kitab ini mengajak dengan penuh
kebanggaan untuk melakukan tindakan kejam yang dilakukan (atau harus dilakukan)
oleh Bani Israel, dibawah pimpinan Yosua, atas pribumi Palestina.
Dalam
karya klasiknya The Case of Israel: A Study of Political Zionism, Roger
Garaudy menerangkan sikap tersebut seperti berikut:
Kitab Yosua, yang seringkali diejawantahkan hari ini oleh
para rabbi tentara di Israel untuk menganjurkan perang suci, dan juga dalam
banyak pengajaran-pengajaran sekolah, bersandar pada keharusan sakral adanya
pemusnahan atas penduduk yang ditaklukkan, menumpas dengan “mata pedang” segala
sesuatu “baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda,” (Yosua, 6:21),
seperti kita baca dalam cerita Jericho dan begitu banyak kota-kota lainnya.
Perilaku
yang ditunjukkan tentara-tentara Israel yang dibina dengan gagasan seperti ini
sejalan dengan sikap ini. Saat ini dalam pendudukan Palestina,
kejadian-kejadian mengerikan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari:
Bayi berusia 18 bulan yang meninggal di tempat tidurnya ketika rumah-rumah
mereka diserang oleh tembakan helikopter Israel, gadis remaja yang bekerja di
kebun zaitun tertembak dan terbunuh tanpa alasan apa pun, dan anak-anak yang
kembali ke rumahnya dari sekolah dengan luka dan lumpuh seumur hidupnya. Sistem
pendidikan Zionis adalah akar dari masa tak berprikemanusiaan dan menghalalkan
semua cara ini. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dan cuci otak ini
sangat berhasil guna. Dalam sebuah pengujian yang dilakukan oleh ahli psikologi
Tel Aviv University G. Tamarin, sebuah pernyataan yang menggambarkan
pembantaian Jericho dari Kitab Yosua dari Perjanjian Lama dibagi-bagikan kepada
murid-murid kelas empat dan delapan. Mereka ditanya: “Anggaplah Tentara Israel
menduduki sebuah desa Arab dalam sebuah pertempuran. Apakah kalian berpikir
perlu, atau tidak, untuk bertindak melawan para penduduk seperti yang dilakukan
Yosua kepada penduduk Jericho?” Jumlah yang menjawab “Ya” beragam dari 66%
hingga 95% menurut sekolah yang didatangi atau kibbutz atau kota tempat
anak-anak tinggal.
Pandangan
tentang “janji”, bersama-sama dengan makna perwujudannya (sebagai pemimpin
Zionisme politik yang berasal dari Kitab di mana Yosua menceritakan takdirnya
untuk memusnahkan penduduk sebelumnya, yang ia lakukan berdasar perintah Tuhan
dan dengan pertolongannya) ditambah ungkapan “orang-orang terpilih” dan
“Israel yang lebih agung” dari Nil hingga Eufrat, membentuk dasar-dasar
ideologi Zionisme politik.
Buku
harian seorang tentara Israel yang diterbitkan oleh surat kabar Israel Davar
adalah contoh penting untuk hal ini. Tentara yang kita bicarakan ini ikut serta
dalam sebuah operasi untuk mengepung desa Palestina Ed-Dawayma pada tahun 1948,
dan menggambarkan kejadian kejam yang ia saksikan:
Mereka membunuh antara delapan puluh hingga seratus lelaki,
wanita, dan anak-anak Arab. Untuk membunuh anak-anak, mereka (para tentara)
mematahkan kepala mereka dengan tongkat. Tidak ada satu rumah pun tanpa mayat.
Para wanita dan anak-anak di desa tersebut dipaksa tinggal di dalam rumah tanpa
makanan dan air. Kemudian, para tentara datang untuk meledakkan mereka dengan
dinamit.
Seorang
komandan memerintahkan seorang tentara untuk membawa dua wanita ke sebuah bangunan
tempat ia menembaki mereka… Tentara lainnya bangga karena telah memerkosa
seorang wanita Arab sebelum menembak mati dirinya. Wanita Arab lainnya yang
mempunyai bayi disuruh membersihkan tempat itu selama beberapa hari, kemudian
mereka menembaknya berikut bayinya. Para komandan yang terdidik dan sopan yang
dianggap sebagai “orang baik” …. menjadi pembunuh tak berprikemanusiaan, dan
ini tidak terjadi dalam sebuah pertempuran, melainkan hanya sebuah cara
pengusiran dan pemusnahan. Semakin sedikit orang Arab yang tertinggal, semakin
baik.
Ini
hanyalah salah satu dari banyak peristiwa kejam lainnya yang telah terjadi
selama 50 tahun terakhir.
Sebelum
pemerintahan Israel didirikan, kelompok Haganah, Irgun, dan Stem bertanggung
jawab atas pengusiran orang-orang Palestina dari tanah mereka. Organisasi
teroris sebelum 1948 dan tentara Israel setelah 1948 ini melakukan suatu
kampanye teroris atas penduduk sipil Arab. Menachem Begin, pemimpin Irgun,
kelak menjadi perdana menteri, menerangkan strategi mereka: "Orang-orang
Arab berjuang dengan gigih dalam mempertahankan rumahnya, para wanita dan
anak-anak mereka." Dengan kata lain, perang Zionis akan dilakukan melawan
orang-orang tak berdosa.
Dan
memang, semenjak tanggal tersebut orang-orang Palestina telah berjuang
melindungi rumah mereka, para wanita, dan anak-anak dari kebijakan resmi Israel
menteror seluruh orang-orang Palestina. Wartawan surat kabar dan ahli Timur
Tengah Flora Lewis menerangkan kekejaman gaya Israel ini dalam artikelnya di
International
Herald Tribune:
Pihak
berwenang Israel sekarang telah mengakui di depan publik sebuah kebijakan
“serangan terarah” atas orang-orang Palestina yang dipercaya akan terlibat
dalam terorisme. Ini merupakan pembunuhan politis terencana, yang sangat tepat
disebut “tindak kriminal… pembunuhan” oleh Moshe Neghi, seorang jurnalis Israel
terkemuka… Wakil Menteri Pertahanan Ephraim Sneh menyebutkan di radio bahwa
kebijakan ini tegas. "Jika ada orang yang melakukan atau berencana
melakukan serangan teroris, dia harus dipukul… Inilah yang efektif, tepat, dan
adil."
Harus
ditekankan bahwa, seperti disebutkan Sneh, upaya Israel ini tidak terbatas pada
unsur-unsur teroris, melainkan juga mentargetkan seluruh orang.
Perincian
yang diberikan di sini hanyalah sebagian kecil dari kekejaman yang dilakukan
oleh pemerintah Israel. Namun ini adalah sebuah tindakan yang dikenal baik oleh
orang-orang Muslim Palestina, karena ada kemiripan yang erat antara
penggambaran Al-Qur'an tentang Firaun dengan apa yang telah dilakukan pemimpin
Israel Zionis kepada orang-orang Palestina tak berdosa. Dalam masanya, Firaun
menetapkan sasaran orang-orang Yahudi yang lemah, tak punya pelindung dan
dengan kejam membunuh mereka. Juga, pemimpin kaum Firaun mempunyai keterikatan
yang kuat akan tanah mereka, sehingga Firaun berkata bahwa Musa "ingin
mengusir kamu dari tanahmu” (Al-Qur'an, 7: 110) Wartawan Israel Uri Avnery menyoroti
kemiripan ini. Dalam artikel “Pembunuhan Arafat,” ia mengingatkan kita bahwa
salah satu keyakinan dasar Yudaisme adalah bahwa masa perbudakan Yahudi di
Mesir tidak akan pernah terlupakan. Menurutnya, apa yang dilakukan orang-orang
Israel atas Palestina saat ini hanyalah suatu bentuk kekejaman yang ditimpakan
kepada leluhur Yahudi mereka oleh Firaun:
Dalam mitos baru yang terlahir di depan mata kita, Sharon
adalah Firaun dan kita adalah orang-orang Mesir kuno. Dalam cerita tentang
Keluaran, Alkitab menyebut firman Tuhan: “Aku telah mengeraskan hati (Firaun)
dan hati budak-budaknya.” Setelah musibah yang menimpanya, Firaun melanggar
janjinya untuk membebaskan orang-orang Israel… Dia (Tuhan) ingin bangsa Israel
dikeraskan oleh kekerasan, sebelum mereka memulai perjalanan panjangnya. Inilah
yang terjadi kepada bangsa Palestina sekarang.
Dan
(ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Ingatlah nikmat Allah
atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari (Fir'aun dan) pengikut-pengikutnya,
mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih, mereka menyembelih anak-anak
laki-lakimu, membiarkan hidup anak-anak perempuanmu; dan pada yang demikian itu
ada cobaan yang besar dari Tuhanmu". Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih".(Qur'an, 14:6-7)
Dengan
bantuan Allah, Bani Israil akhirnya keluar dari kekejaman dan tidak
berprikemanusiaannya Firaun. Pada masa sekarang, radikalisme Israel ada pada
kedudukan Firaun dan menganjurkan kekejaman. Orang-orang Palestina harus
mengikuti himbauan Allah kepada Bani Israel pada saat itu: Sabarlah, percayalah
kepada Allah, dan tetaplah di atas jalan-Nya yang benar.
SEORANG
TENTARA ISRAEL MELUKISKAN KEKEJAMAN
Serangan
Libanon pertama saya adalah pada tahun 1986. Saya wajib militer Israel
berusia 19 tahun, dan peleton penerjun payung saya dikirim ke suatu desa yang
saya lupa namanya…. Kami mendobrak pintu sebuah rumah, memeriksa keluarga di
dalamnya, dan mengeluarkan seorang pria berusia separuh baya. Setelah menutup
matanya dan mengikat tangannya di belakang punggungnya, kami membawanya ke
sebuah jalanan sepi, memaksanya berlutut, dan menaruh senjata di kepalanya,
mengancam menembak jika ia tidak bicara. Seorang petugas perdamaian PBB
muncul dan mengakhiri insiden itu, tapi masih akan ada lagi yang terjadi.
Hari
berikutnya kami melakukan hukuman mati yang tidak masuk akal atas seorang
anak Libanon berusia 10 tahun. Kami memaksa keluarganya masuk dapur dan
menyeretnya ke samping kebun. Letnan saya memasukkan kepalanya ke dalam
kotoran dan saya memukulkan senapan saya ke kepalanya.
Meskipun
tentara itu mengancam menembak kepalanya, bocah itu tidak menjawab, tetap
membisu…
Saya
adalah prajurit pindahan dari satuan lain, dan rekan saya lebih terbiasa
dengan aksi seperti ini… Orang desa yang sudah tua, wanita, dan anak kecil
dijebak di rumah mereka, diperintah menjalani jam malam 24 jam. Para lelaki
mereka dikumpulkan di suatu ruangan terpusat, mata ditutup, dan diseret untuk
disidik.
Kebrutalan
tak bertanggung jawab ini tak terbatas pada prajurit berpendapatan rendah.
Omri, anak seorang pejabat terpandang, suka menembak dengan memberondong
orang-orang desa yang mengintip melalui pintu-pintu… Selama serangan
bulan-bulan pertama, Israel membunuh 12.000 hingga 15.000 orang dan
kehilangan 360. Meskipun korban di pihak Israel itu adalah para prajurit,
sebagian besar korban mereka justru orang-orang sipil.
James
Ron, penulis artikel ini, asisten profesor sosiologi pada John Hopkins
University, adalah seorang penyidik lapangan sebuah kelompok hak asasi
manusia. (Boston Globe, 25 Mei 2000)
|
Pembantaian
oleh Israel
Beberapa
pembantaian yang dilakukan oleh tentara Israel dan organisasi teroris (seperti
Haganah, Irgun, dan Stern) antara 1948 dan 1982 akan digambarkan dalam
halaman-halaman berikut ini. Tidak ada satu pun pembantaian itu yang ditujukan
kepada kelompok-kelompok bersenjata. Sejarah Israel penuh dengan tindak
kekerasan atas dan pembantaian orang-orang sipil. Beberapa contoh berikut ini
saja sudah cukup: peledakan Hotel King David pada tahun 1946; pembantaian Deir
Yassin pada 1948, di mana penduduk desa yang tak berdosa disiksa dan dibunuh;
pembantaian tak berprikemanusiaan di desa Qibya pada 1958; pembantaian di kamp
pengungsian Sabra dan Shatilla, yang dilakukan oleh milisi Libanon Kristen
pro-Israel di bawah dukungan Ariel Sharon dan mengakibatkan hampir 3000
kematian; serangan atas Mesjid Aqsa pada 1990, yang menyebabkan 11 kematian dan
hampir 800 orang luka-luka, pembantaian di Mesjid Ibrahim pada tahun 1994
selama sholat Subuh; pembantaian di kamp pengungsian Qana pada 1996; dan
pengepungan terowongan oleh 4000 tentara pada 1999 adalah beberapa contoh saja
dari kekerasan ini.
Mereka
yang tewas dalam serangan ini adalah orang-orang tak berdosa yang tidak punya
alat-alat untuk melindungi diri mereka sendiri. Pembantaian yang akan
disebutkan di halaman-halaman berikut hanyalah contoh dari kekejaman dan teror
yang telah berlanjut dari tahun 1947 hingga sekarang. Meski angka-angka ini
penting artinya untuk menunjukkan besarnya penindasan Zionis, namun angka-angka
tersebut bahkan tak bisa memulai penggambaran akibatnya yang mengerikan,
khususnya karena penindasan itu masih berlangsung. Memang, hampir setiap hari
semenjak 1947 selalu saja ada laporan berita tentang serangan, kematian,
penyiksaan, dan kekerasan dari daerah-daerah yang diduduki oleh Israel. Sebagai
contoh, ketika semua orang yang meninggal semenjak Oktober 2000 disebutkan,
jumlahnya mencapai hampir 2000. (Angka ini tidak termasuk orang-orang yang
terbunuh dalam Operasi Defensive Shield.) Dengan kata lain, orang-orang Israel
melanjutkan pembunuhan harian ini dalam suatu cara sistematis.
Beberapa
Contoh Setengah Abad Pemerintahan Teror Israel
Pembantaian
King David, 1946: 92 tewas
Serangan
ini dilakukan oleh organisasi teroris Irgun dan sepengetahuan David Ben Gurion,
pejabat teras Zionis dalam masa itu. Sejumlah total 92 orang, terdiri atas
orang Inggris, Palestina, dan Yahudi terbunuh dan 45 orang terluka parah.
Pembantaian Baldat Al-Shaikh, 1947: 60 tewas
Enam
puluh orang Palestina yang tengah terlelap di tempat tidurnya, di antara mereka
para wanita, anak-anak, dan orang tua, kehilangan nyawanya karena serangan ini,
yang dilakukan oleh 150-200 teroris Zionis. Serangan dimulai pada pukul 2 pagi
dan berlangsung selama 4 jam.
Pembantaian Yehida, 1947: 13 tewas
Di
Yehida, salah satu pemukiman pertama Zionis, para penyerang yang berpakaian
seperti tentara Inggris menembaki orang-orang Islam.
Pembantaian Khisas, 1947: 10 tewas
Dua
mobil yang dipenuhi anggota-anggota Haganah memasuki desa Khisas di perbatasan
Libanon dan melakukan penembakan pada seseorang yang melintasi jalan mereka.
Pembantaian Qazaza, 1947: 5 anak-anak tewas
Lima
anak kehilangan jiwanya dalam peristiwa ini, ketika teroris Zionis menembaki
sebuah rumah dengan membabi buta.
Pembantaian Hotel Semirami, 1948: 19 tewas
Dalam
sebuah operasi yang ditujukan untuk membuat orang-orang Palestina merasa tidak
aman dan memaksa mereka keluar dari Yerusalem, sekelompok teroris Zionis yang
dipimpin oleh presiden Israel pertama, David Ben Gurion, meledakkan Hotel
Semirami. Sembilan belas orang terbunuh.
Pembantaian Naser al-Din, 1948
Sekelompok
teroris Zionis berpakaian tentara Arab menembaki penduduk kota yang
meninggalkan rumahnya untuk menyambut mereka. Hanya 40 orang yang lolos dari
pembunuhan ini, dan desa tersebut terhapus dari peta.
Pembantaian Tantura, 1948: 200 tewas
Tantura,
sekarang rumah dari sekitar 1500 pemukim Yahudi, adalah sebuah tempat
pembantaian besar-besaran atas orang-orang Islam pada tahun 1948. Sejarawan
Israel Teddy Katz menggambarkan serangan ini sebagai berikut: “Dari jumlahnya,
ini benar-benar salah satu pembantaian yang terbesar."
Pembantaian Mesjid Dahmash, 1948: 100 tewas
Batalalion
Komando Israel ke-89 yang dipimpin oleh Moshe Dayan, yang nantinya menjadi
Menteri Pertahanan, mengumumkan kepada penduduk desa bahwa mereka akan aman
hanya jika mereka berkumpul di mesjid. Akan tetapi, 100 orang Islam yang
mencari tempat perlindungan tersebut justru dibantai di sana. Para penduduk
yang ketakutan di Lydda dan Ramla meninggalkan tanahnya. Sekitar 60.000 orang
Palestina keluar dari negerinya, dan 350 orang lebih tewas dalam perjalanan
karena keadaan kesehatan yang parah.
Pembantaian Dawayma, 1948: 100 tewas
Serangan
ini merupakan pembantaian terbesar yang dilakukan Israel. Sebagian besar yang
terbunuh tengah berada di mesjid untuk melakukan sholat Jum’at. Wanita-wanita
Palestina diperkosa selama serangan ini, sementara rumah-rumahnya diledakkan
dengan dinamit, padahal ada orang di dalamnya.
Pembantaian Houla, 1948: 85 tewas
Tentara
Israel memaksa 85 orang untuk masuk ke dalam sebuah rumah, kemudian rumah itu
dibakar. Setelah itu, sebagian besar warga yang merasa takut melarikan diri ke
Beirut. Dari 12.000 penduduk asli Houla, hanya 1200 orang yang tersisa.
Pembantaian Salha, 1948: 105 tewas
Setelah
penduduk suatu desa dipaksa masuk ke mesjid, orang-orang tersebut dibakar
hingga tak seorang pun yang tersisa hidup-hidup.
Pembantaian Deir Yassin, 1948: 254 tewas
Kenyataan
bahwa agenda dunia dikendalikan oleh media Barat, yang sebagian besarnya
memihak Israel, kadangkala mencegah peristiwa-peristiwa di Israel untuk
diungkap. Namun, beberapa kejadian seperti kekerasan dan kekejaman telah
didokumentasikan secara terperinci oleh lembaga-lembaga internasional. Inilah
salah satu dari kejadian-kejadian itu, yang dilakukan oleh organisasi teroris
Irgun dan Stem.
Pada
malam 9 April, 1948, penduduk Deir Yassin terbangun karena perintah
“mengosongkan desa” yang disuarakan oleh pengeras suara. Sebelum mereka
mengerti apa yang tengah terjadi, mereka telah dibantai. Penyelidikan Palang
Merah dan PBB yang dilakukan berturut-turut di tempat kejadian menunjukkan
bahwa rumah-rumahnya pertama-tama dibakar lalu semua orang yang mencoba
melarikan diri dari api ditembak mati. Selama serangan ini, wanita-wanita hamil
dicabik perutnya dengan bayonet, hidup-hidup. Anggota tubuh korban
dipotong-potong, lalu anak-anak dihantam dan diperkosa. Selama pembantaian Deir
Yassin, 52 orang anak-anak disayat-sayat tubuhnya di depan mata ibunya, lalu
mereka dibunuh sedang kepalanya dipenggal. Lebih dari 60 orang wanita terbunuh
lalu tubuh-tubuh mereka dipotong-potong. Salah satu wanita yang melarikan diri
hidup-hidup menceritakan pembantaian massal yang ia saksikan sebagai berikut:
Saya melihat seorang tentara memegangi saudara perempuan
saya, Saliha al-Halabi, yang sedang hamil sembilan bulan. Ia menyorongkan
sebuah senjata mesin pada lehernya, lalu memberondongkan seluruh pelurunya
kepada saudara saya. Lalu ia beralih menjadi seorang jagal, ia mengambil sebuah
pisau lalu menyayat perutnya hingga terburai lalu mengeluarkan janinnya yang
telah mati dengan pisau Nazinya yang tak berprikemanusiaan.
Tidak
puas hanya dengan pembantian, para teroris lalu mengumpulkan seluruh perempuan
dewasa dan remaja yang masih hidup, menanggalkan seluruh pakaian mereka,
membaringkan mereka di mobil terbuka, membawa mereka sepanjang jalan daerah
Yahudi di Yerusalem dalam keadaan telanjang. Jacques Reynier, perwakilan Palang
Merah Palestina pada saat itu, yang melihat potongan-potongan mayat selama
kunjungannya ke Deir Yassin pada hari serangan itu, hanya bisa berkata:
“Keadaannya sudah mengerikan."
Selama
diadakannya serangan, 280 orang Islam, di antara mereka wanita dan anak-anak,
mula-mula diarak di sepanjang jalan lalu ditembak seperti menjalani hukuman
mati. Sebagian besar wanita yang masih remaja diperkosa sebelum ditembak mati,
sedangkan remaja pria dikebiri kemaluannya.
Harus
dijelaskan bahwa para teroris yang melakukan pembantaian massal ini bukanlah
anggota organisasi radikal yang bertindak di luar hukum atau menentang kendali
pemerintah; justru mereka itu dikendalikan langsung oleh pemerintah Israel.
Pembantaian Deir Yassin dilakukan oleh kelompok Irgun dan Stern, di bawah
kepemimpinan langsung Menachem Begin, yang di kemudian hari menjadi perdana
menteri Israel.
Begin menggambarkan operasi tak berprikemanusiaan ini, yang
hanyalah salah satu contoh dari kebijakan resmi kebrutalan Israel, dalam
kata-kata: "pembantaian ini tidak hanya bisa dibenarkan, justru, tidak
akan ada negara Israel tanpa ‘kemenangan’ di Deir Yassin." Para Zionis
menjadikan serangan seperti itu untuk menteror orang-orang Palestina dan
mengusir mereka dari tanah mereka sehingga imigran Yahudi punya tempat untuk
hidup. Israel Eldad, seorang pemimpin Zionis yang terkenal, menyatakan hal ini
secara terbuka ketika ia berkata: "Jika tidak ada Deir Yassin, setengah
juta orang Arab akan tetap tinggal di negara Israel (pada tahun 1948). Negara
Israel tidak akan pernah ada."
Para
Zionis menganggap pembersihan etnis seperti ini sebagai hal teramat penting
untuk mendirikan negara Israel. Memang operasi-operasi ini, yang dilanjutkan
setelah serangan Deir Yassin, menyebabkan banyak orang-orang Palestina
meninggalkan tanahnya dan melarikan diri, atau menderita nasib yang sama
seperti penduduk Deir Yassin.
Pembantaian di Qibya, 1953: 96 tewas
Serangan
Zionis lainnya yang dirancang untuk “mendorong” orang-orang Palestina melarikan
diri terjadi di Qibya, suatu desa dengan penduduk 2000 orang di perbatasan
Yordania. Penyelidikan lebih lanjut di tempat kejadian yang dilakukan oleh
beberapa pengamat dengan jelas mengungkap bagaimana pembantaian terjadi.
Pembantaian Qibya, yang terjadi pada 13 Oktober 1953, meliputi penghancuran 40
rumah dan pembunuhan 96 orang sipil, sebagian besar di antara mereka wanita dan
anak-anak. Unit “101” ini dipimpin oleh Ariel Sharon, yang nantinya juga
menjadi salah satu perdana menteri Israel. Sekitar 600 tentaranya mengepung
desa itu dan memutuskan hubungannya dengan seluruh desa Arab lainnya. Begitu
memasukinya pada pukul 4 pagi, para teroris Zionis mulai secara terencana
memusnahkan rumah-rumah dan membunuh penduduk-penduduknya. Sharon yang kalem,
yang langsung memimpin serangan tersebut, mengumumkan pernyataan berikut
setelah pembantaian: “Perintah telah dilaksanakan dengan sempurna: Qibya akan
menjadi contoh untuk semua orang."
Dr.
Yousif Haikal, duta besar Yordania untuk PBB pada saat itu, menerangkan
pembantaian ini dalam laporannya kepada Dewan Keamanan:
Orang-orang Israel memasuki desa dan secara terencana
membunuh seluruh penghuni rumah, dengan menggunakan senjata-senjata
otomatis, granat, dan bom bakar; lalu mendinamit rumah yang ada penghuninya…
Empat puluh rumah, sekolah desa, dan sebuah waduk dihancurkan. Dua puluh dua
ternak dibunuh dan enam toko dijarah.
Jurnal
Katolik terkenal The Sign, yang diterbitkan di Amerika Serikat, juga melaporkan
pembantaian massal yang dilakukan selama serangan ini. Editor Ralph Gorman
menerangkan pemikirannya sebagai berikut: “Teror menjadi sebuah senjata politik
Nazi. NamunNazi tidak pernah menggunakan teror dengan cara yang lebih berdarah
dingin dan tanpa alasan seperti yang dilakukan Israel dalam pembantaian di
Qibya."
Orang-orang
yang kemudian datang ke tempat pembantaian ini menyaksikan pemandangan yang
mengerikan. Sebagian besar mayat mengalami luka tembak di belakang kepala, dan
banyak yang tanpa kepala. Bersama orang-orang yang tewas di bawah reruntuhan
rumah mereka, banyak wanita-wanita dan anak-anak tak berdosa yang juga dibunuh
secara brutal.
Pembantaian Kafr Qasem, 1956: 49 tewas
Serangan
di Kafr Qasem, ketika 49 orang tak bersalah, tanpa memandang wanita atau
anak-anak, tua atau muda, dibunuh dengan brutal, terjadi pada 29 Oktober 1956.
Pada hari itu juga, Israel melancarkan serangannya atas Mesir. Tentara garda
depan Israel melakukan pembersihan sekitar pukul 4 sore, dan menyatakan bahwa
mereka telah mengamankan perbatasan. Mereka berkata pada pejabat setempat di
kota-kota perbatasan bahwa jam malam untuk kota tersebut mulai hari itu akan
dimulai pukul 5 sore, bukan 6 sore seperti biasanya. Salah satu kota tersebut
adalah Kafr Qasem, di dekat pemukiman Yahudi di Betah Tekfa.
Para
penduduk kota baru diberitahu tentang jam malam tersebut pada pukul 4.45 sore.
Pejabat setempat memberi tahu tentara Israel bahwa sebagian besar penduduk kota
bekerja di luar kota, dan begitu mereka kembali dari kerjanya, mereka tidak
mungkin mengetahui tentang perubahan tersebut. Pada saat yang sama, tentara
Israel mulai mendirikan barikade di jalan masuk kota. Sementara itu,
orang-orang yang bekerja di luar kota pun mulai kembali ke rumahnya. Kelompok
pertama segera mencapai perbatasan kota. Apa yang terjadi berikutnya
diceritakan oleh saksi mata Abdullah Samir Bedir:
Kami
mencapai pintu masuk desa sekitar pukul 4.55 sore. Kami tiba-tiba dihadang oleh
unit garda depan yang terdiri atas 12 tentara dan seorang pejabat, yang
semuanya diangkut sebuah truk tentara. Kami memberi salam kepada pejabat dalam
bahasa Ibrani, dengan berkata “Shalom Katsin”yang berarti “salam untuk Bapak,”
tapi tak ada tanggapan. Dia kemudian menanyai kami dalam Bahasa Arab: “Apakah
kalian bahagia?” lalu kami menjawab “Ya.” Para tentara mulai keluar dari truk
dan sang pejabat memerintahkan kami untuk berbaris. Lalu ia menyerukan perintah
ini kepada tentaranya: “Laktasour Otem,” yang berarti “Bereskan mereka!” Para
tentara mulai menembak…
Bedir,
yang melarikan diri dari percobaan pembantaian yang mengerikan ini dengan
berjudi antara hidup dan mati, sebenarnya bukanlah satu-satunya saksi mata
kekejaman ini. Mulai saat itu, tentara Israel menghentikan setiap kendaraan
yang mencoba memasuki kota itu dan menembak mati orang-orang di dalamnya. Di
antara mereka ada anak laki-laki berusia 15 dan 16 tahun, remaja putri, dan
wanita hamil. Orang-orang yang mendengarkan keributan dan keluar melihat apa
yang terjadi ditembak karena melanggar jam malam begitu mereka melangkah ke
luar. Tentara Israel diperintahkan bukan untuk menahan, melainkan menembak mati
semua yang melanggar jam malam.
Kejadian
ini, yang dilaporkan seluruhnya dalam catatan resmi Parlemen Israel, adalah
salah satu contoh yang paling mengejutkan dari kebijakan resmi Israel.
Pembantaian Khan Yunis, 1956: 275 tewas
Tentara
Israel yang menyerang kamp pengungsi di Khan Yunis membunuh 275 orang. Pejabat
PBB yang melakukan penyelidikan di tempat kejadian menemukan korban-korban yang
telah ditembak di belakang kepalanya setelah tangannya diikat.
Pembantaian di Kota Gaza, 1956: 60 tewas
Dalam
serangan ini, para Zionis membunuh 60 orang, termasuk wanita dan anak-anak.
Pembantaian Fakhani, 1981: 150 tewas
Pembantaian di Mesjid Ibrahimi, 1994: 50 tewas
Pada
hari Jum’at, 25 Februari 1994, suatu pembantaian mengerikan terjadi di Palestina.
Dalam sebuah serangan yang dilakukan oleh seorang Yahudi Zionis atas umat Islam
yang tengah sholat Jum’at di Mesjid Ibrahimi, lebih dari 50 orang Islam tewas
dan hampir 300 orang luka-luka. Beberapa orang yang terluka kemudian tewas
karena luka yang dideritanya.
Pembantaian
ini dilakukan oleh seorang Yahudi yang tinggal di pemukiman Yahudi Kiryat Arba
di Hebron. Sang teroris juga menjadi anggota cadangan di angkatan bersenjata
Israel dan anggota sebuah organisasi teroris Zionis. Sumber-sumber di Israel
melaporkan bahwa ia mengenakan seragam militer selama serangan tersebut.
Penyerang
menyusup ke dalam mesjid dan bersembunyi di belakang sebuah tiang sewaktu orang
Islam melaksanakan sholat Subuh. Ketika mereka tengah rukuk bersama, ia
memberondong mereka dengan sebuah senapan mesin. Menurut laporan saksi mata, ia
tidak melakukannya sendiri, ia hanya menarik picunya saja. Begitu senjatanya
kosong, temannya mengganti dengan yang baru.
Setelah
kejadian ini, tentara Israel mengepung mesjid itu dan mencegah wartawan
mendekatinya. Begitu banyak orang yang tewas ketika para tentara ini menembaki
orang-orang Islam Palestina yang berdemonstrasi di sekitar mesjid untuk
memprotes serangan tersebut.
Pembantaian Qana, 1996: 109 tewas
Lebih
dari 100 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, kehilangan jiwanya di kamp
pengungsi Qana ketika mereka dibom oleh angkatan udara Israel. Pemandangan
mengerikan karena pembantaian ini, termasuk anak-anak yang dipenggal kepalanya,
tidak akan pernah terlupakan. Suatu tim pemeriksa dari PBB memastikan bahwa
pembantaian ini disengaja.
Pembantaian Sabra dan Shatilla
"Saya
harus membawa bayi-bayi dan menaruh mereka di dalam peti-peti berisi air untuk
menghindari api. Ketika saya melihat mereka setengah jam kemudian, mereka masih
membakar tempat itu. Bahkan di kamar mayat pun, mereka masih melakukan
pembakaran selama berjam-jam.” Demikian Dr. Amal Shamaa dari rumah sakit
Barbir, setelah amunisi fosfor Israel dibakar Beirut Barat, 29 Juli 1982.
Operasi
teroris Zionis untuk menakut-nakuti orang Palestina dan mengusir mereka dari
tanah mereka setelah PD II mengakibatkan kematian ribuan orang-orang tak
berdosa. Namun, serangan Israel atas kamp pengungsi Sabra dan Shatilla selama
penyerangan Libanon 1982 akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu
tindakan pembantaian etnis terburuk yang pernah dilakukan oleh Zionis. Selama
serangan oleh kelompok Phalangis Kristen Libanon, dengan dukungan dan arahan
tentara-tentara Israel, lebih dari 3000 orang, sebagian besar wanita dan
anak-anak, terbunuh. Penelitian dan penyelidikan setelah itu memperlihatkan
bahwa Ariel Sharon, yang saat itu menteri pertahanan Israel dan sekarang
perdana menteri, bertanggung jawab atas operasi tersebut. Karena serangan
berdarah ini, sekarang pun ia masih dikenal sebagai “Tukang Jagal dari
Libanon."
Wartawan
dan ahli Timur Tengah Robert Fisk melaporkan pemandangan mengerikan yang ia
lihat segera setelah serangan tersebut dalam sebuah artikel yang ditulis
setelah Sharon terpilih sebagai perdana menteri:
Bagi
setiap orang yang berada di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla di Beirut pada
18 September 1982, namanya (Ariel Sharon) sama artinya dengan penjagalan,
dengan mayat-mayat yang membengkak, dengan wanita-wanita yang terburai isi
perutnya, dengan mayat-mayat bayi, dengan pemerkosaan, dan penjarahan dan
pembunuhan… Bahkan ketika saya berjalan di atas jalan-jalan yang berbau busuk ini,
lebih dari 18 tahun setelahnya… hantu-hantu masih bergentayangan. Di sana, di
sisi jalan yang mengarah ke mesjid Sabra, berbaring Tn. Nouri, 90 tahun,
berjanggut putih, berpiama dengan topi wol kecil yang masih melekat di
kepalanya dan sebuah tongkat di sisinya. Saya menemukannya di atas tumpukan
sampah, di punggungnya…
Masih di jalan yang sama, saya berjalan melintasi dua
orang wanita yang duduk tegak dengan otak tercerai berai, di samping tungku
dapur… salah satu wanita itu kelihatannya lambungnya pun terburai. Beberapa
meter jauhnya, saya menemukan bayi-bayi pertama, sudah menghitam karena
membusuk, bergelimpangan di atas jalanan seperti sampah… lalat-lalat
mengerubung berlomba-lomba di antara mayat-mayat dan muka-muka kami, di antara
darah kering dan catatan wartawan, tangan-tangan dengan arloji masih berdetak
di pergelangan yang mati. Saya naik merangkak ke atas benteng tanah, sebuah
bulldozer yang telah ditinggalkan berdiri di dekatnya dengan perasaan bersalah,
hanya untuk merasakan, bahwa begitu saya berada di atas gundukan itu, ia
bergelayutan di bawah saya. Dan saya melihat ke bawah untuk menemukan
muka-muka, siku-siku, mulut-mulut, kaki-kaki seorang perempuan menonjol ke luar
dari dalam tanah. Saya harus berpegangan pada bagian-bagian tubuh ini untuk
memanjat ke sisi lain. Lalu di sana ada wanita cantik, kepalanya dikelilingi
oleh cahaya kancing-kancing baju, darahnya masih mengalir dari sebuah lubang di
punggungnya.
Dalam
artikel lain, Fisk menggambarkan apa yang ia lihat ketika mengunjungi rumah-rumah
sakit tempat orang-orang terluka tengah dirawat: “Apa yang kita lihat di sini
tidak akan mudah kita lupakan. Mengunjungi rumah sakit Barbir berarti melihat
apa yang dilakukan berondongan senjata pada daging."
Kekejaman
yang dialami orang-orang tak bersalah dan mengenaskan ini haruslah menjadi
peringatan bagi ideologi kepemimpinan Israel. Sebagian besar wanita yang
terbunuh itu telah diperkosa. Para wanita hamil dirobek perutnya sehingga bayi-bayinya
bisa direnggut keluar. Anak-anak sekitar 3 atau 4 tahun dibunuh di depan
orang-orang tuanya. Kebanyakan lelaki dipotong telinga dan hidungnya sebelum
ditembak mati.
Sebuah
laporan berita tentang pembantaian muncul pada surat kabar Prancis Le Monde
pada 13 Februari 2001. Nihad Hamad, yang berhasil selamat, sekarang berusia 42
tahun, menggambarkan apa yang telah terjadi:
Angkatan bersenjata Israel menghabiskan Rabu malam dan Kamis
pagi mengepung kamp tersebut. Mereka ingin menutup sisi timurnya. Para
mujahidin kami telah pergi. Di sini tak ada yang tertinggal selain beberapa
anak berumur 15 atau 16… Pada Kamis malam, pengeboman terjadi dua kali. Kami
sadar bahwa senapan ringan kami tidak akan ada gunanya. Setiap orang di
bangunan ini adalah pengungsi. Setiap orang merasa takut. Orang-orang lanjut
usia dari kelompok ini, orang-orang yang menjadi panutan, memutuskan untuk
pergi menemui orang-orang Israel dan menyatakan pada mereka bahwa kamp akan
menyerah. Dengan bendera putih di tangan mereka mereka masuk ke mobil dan pergi
ke luar. Mereka tidak pernah kembali. Beberapa lelaki muda pergi dengan
senjatanya dan pergi ke arah yang sama. Mereka pun tidak pernah kembali lagi,
demikian pula orang-orang yang pergi mencari mereka. Kemudian kami sadar bahwa lebih
baik kami meninggalkan tempat ini segera… Ratusan orang melarikan diri ke suatu
tempat persembunyian yang sama di bagian utara kamp. Begitu banyak di antara
kami yang hampir mati lemas. Ketika fajar menyingsing kesunyian kematian di
mana-mana; tempat ini adalah sebuah kota hantu sekarang. Pengeboman pun
berhenti. Satu kali kadang-kadang kami bisa mendengar satu letusan senjata.
Kemudian, dari arah mesjid, jeritan seorang wanita memecah kesunyian. Rambutnya
diacak-acak, bajunya yang koyak penuh darah. Ia seperti seorang yang hilang
ingatan. Di kakinya ada anak-anak yang tenggorokannya telah digorok… Mereka
berperilaku brutal, dan mereka menggunakan pisaunya dan alat-alat potong lain
untuk melakukan pembunuhan dalam keheningan. Setelah para milisi menyelesaikan
pekerjaannya di kamp tersebut, mereka menyelesaikan pekerjaan kotornya di Rumah
Sakit Gaza. Mereka menyeret para dokter, perawat, dan yang terluka ke luar
rumah sakit dan membunuh mereka. Jika orang-orang yang hilang dimasukkan, kita
tahu bahwa antara 3000 dan 3.500 orang telah terbunuh.
Pemandangan
mengerikan ini adalah pekerjaan Ariel Sharon, yang dikenal dengan pernyataannya
seperti “Orang-orang Arab mengenal saya, dan saya mengenal mereka” serta
melalui penggambarannya tentang orang Arab dengan istilah menyakitkan, seperti
“hama." Setelah Perang 1967, Sharon
menyebabkan 160.000 orang Palestina meninggalkan Yerusalem Timur dan menjadi
pengungsi. Teknik hukumannya meliputi pengeboman rumah, pembongkaran kamp
pengungsi, dan penahanan ratusan pemuda tanpa alasan lalu menyiksa mereka.
Ketika Sharon menjadi penanggung jawab keamanan di Jalur Gaza, ratusan orang
Palestina dibunuh, ribuan ditahan dan diusir dari Palestina, dan di Gaza saja
2000 rumah telah dihancurkan dan 16.000 orang diusir untuk kedua kalinya. Pada
saat pembantaian Sabra dan Shatilla, 14.000 orang (termasuk 13.000 orang sipil
tak bersenjata) meninggal di tempat itu dalam beberapa minggu, dan sekitar
setengah juta orang kehilangan tempat tinggal.
Kekejaman
dan kebrutalan yang digambarkan di sini terjadi terus menerus di tanah
Palestina selama 50 tahun terakhir. Bahkan, contoh-contoh yang disebutkan di
atas hanyalah pembantaian ketika banyak orang-orang Palestina kehilangan
jiwanya dalam satu hari saja. Kejadian yang serupa, di antara banyak lainnya,
adalah sebagai berikut: 8 orang di al-Sammou, 1966; 7 orang di Adloun, 1978; 80
orang di Abbasieh, 1979; dan 20 orang di Saida, 1980. Di luar ini, beberapa
orang terbunuh atau dibantai setiap hari selama bertahun-tahun. Dan setiap hari
rumah-rumah masih saja dihancurkan dan orang-orang masih diusir dari tanah air
mereka. Jelas, tujuan akhir Israel adalah untuk menakut-nakuti orang-orang
Palestina, mengusir mereka dari tanahnya, dan menundukkan orang Palestina
kepada keinginan mereka melalui sebuah kebijakan pembersihan etnis yang
terencana.
Seluruh
dunia menyaksikan ketika masyarakat ini dibantai, sewaktu mereka menghadapi
pembasmian bangsa yang terang-terangan. Karena alasan tertentu, sebagian besar
pemerintahan telah dan tetap mengabaikan praktek-praktek brutal dan tak
berprikemanusiaan ini dan tidak menjatuhkan sanksi apa pun selain dari
“mengutuk” pada saat tertentu saja.
Dalam
karya klasiknya World Orders: Old and New, pengamat Timur Tengah Noam Chomsky
menggambarkan pandangan pemerintah Israel tentang orang Palestina dan bagaimana
ahli strategi Amerika menilai pandangan ini:
Tentang
orang-orang Palestina, pejabat AS tidak punya alasan untuk mempertanyakan
pendapat ahli pemerintahan Israel pada tahun 1948, bahwa para pengungsi harus
bercampur dengan penduduk di negeri lain atau “akan diremukkan”: “beberapa di
antara mereka akan mati dan sebagian besar mereka akan kembali ke debu dan
sampah masyarakat, dan bergabung dengan kelompok termiskin di negara-negara
Arab.” Oleh karena itu, tak perlu menyusahkan diri karena mereka. Penilaian
seperti ini tetap berlaku hingga hari ini, bahkan menjadi kenyataan sewaktu
kejadian-kejadian tersebut terungkap.
Ramalan
pejabat berwenang di Amerika dan Israel telah terwujud hari ini. Bahkan,
kebijakan kekerasan dan intimidasi atas warga Palestina yang dilakukan selama
masa pendirian Israel dan tahun-tahun pertama tetap tak mereda setelahnya.
Orang-orang
Islam Palestina menghadapi cobaan dan kejahatan yang serupa seperti yang
dialami oleh umat Islam sepanjang sejarah. Dalam Al-Qur'an, Allah mengingatkan
orang-orang beriman tentang suatu masa (Bani Israil) mengenai kekerasan
Fir’aun:
Dan
(ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya;
mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih
anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan
pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu. (Qur'an,
2:49)
Jelaslah,
Allah membantu orang-orang yang sabar, dan berdasarkan hukum-Nya, keselamatan
selalu dinikmati orang-orang beriman yang benar, meskipun jumlah mereka
sedikit, lemah, atau tertindas. Namun, kita juga harus mengetahui bahwa cobaan
ini bukan hanya untuk orang-orang Islam di Palestina; Bahkan, cobaan ini
semestinya dirasakan semua orang yang menyaksikan atau mengetahui kekejaman
ini. Ini karena siapa pun dan bagaimana pun keadaannya, orang-orang Islam
berkewajiban membantu orang-orang yang dizalimi dan tertindas. Dan pertolongan
terbesar yang bisa mereka berikan adalah mengatasi kekejaman ini dari akarnya.
Dengan kata lain, bantuan terbesar yang bisa diberikan manusia kepada
orang-orang Palestina yang terus berjuang untuk kehidupan mereka di
tengah-tengah kekacauan dan kesulitan yang terus terjadi adalah melakukan
perjuangan pemikiran melawan paham dasar Zionisme: sikap Darwinistis Sosial,
yang menyebabkan perpecahan, kekacauan, dan kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar